Langsung ke konten utama

Mata Rantai Yang Hilang



MATA RANTAI YANG HILANG
by Dwipatra

“Pak, apakah bapak sendiri percaya dengan Teori Evolusi Darwin?”
Pertanyaan itulah yang sering diajukan oleh murid-muridku ketika aku mengajarkan Bab Evolusi pada mata pelajaran yang kuampu, Biologi. Tidak persis seperti itu memang pertanyaannya, tapi kurang-lebih seperti itu.
Pertanyaan itu sebenarnya sederhana. Aku tinggal menjawab percaya atau tidak, semudah itu. Tapi lebih dari yang aku harapkan, aku selalu merasakan perasaan aneh setiap kali pertanyaan itu terlontar dari murid-muridku.
“Bapak tidak percaya,” jawabku akhirnya. Lalu aku akan beralasan seperti biasa. Walau bukan itu alasan utama ketidakpercayaanku. “Jika kalian pelajari lebih lanjut buku teks kalian, maka kalian akan menemukan istilah Missing Link. Missing Link adalah mata rantai yang hilang dalam proses evolusi manusia, yang digunakan untuk menjelaskan loncatan evolusi tak wajar dari makhluk sejenis kera ke manusia. Ketidakwajaran itulah yang menjadikan teori evolusi Darwin menjadi sulit untuk dipercaya.”
“Lalu kenapa sampai sekarang teori itu masih terus diajarkan?” tanya salah seorang siswa yang memang kukenal lebih kritis daripada siswa-siswi yang lain.
“Karena sampai sekarang belum ada satu teori pun yang bisa menjelaskan masalah itu dengan meyakinkan,” jawabku. Aku tak ingin terlihat bodoh di depan anak didikku sendiri, sehingga kuperpanjang jawabanku agar lebih meyakinkan. “Selama belum ada teori baru yang bisa menjelaskan asal usul manusia, maka bapak yakin teori Darwin akan tetap hidup.”
“Bagaimana dengan asal-usul manusia menurut agama?” tanya siswa yang lain.
Jika masalah evolusi ini sudah dikaitkan dengan agama, aku selalu merasa malas untuk menanggapi. Ujung-ujungnya akan terjadi debat panjang yang tak pernah mencapai satu kesimpulan pun.
“Sebaiknya kita tidak mencampuradukkan bab pelajaran ini dengan masalah agama,” jawabku mencoba menghindari debat yang berpotensi muncul. “Tak akan ada titik temu antara keduanya. Khusus untuk masalah ini, biarlah dua sudut pandang itu berjalan sendiri-sendiri.”
Dan pelajaran siang itu berakhir dengan damai, tanpa debat dan tanpa pertanyaan membingungkan. Setidaknya itulah yang terjadi di kelas. Tapi tidak demikian dengan diriku. Entah mengapa, segala pertanyaan siang tadi menjadi begitu mengganggu. Lebih daripada biasanya, bahkan sampai saat aku hendak berangkat tidur.
“Paling-paling aku akan melupakannya esok hari setelah aku bangun,” dengusku kesal pada diri sendiri.
“Tak akan, sebelum kau tahu jawaban pastinya.”
Tiba-tiba sebuah suara menjawab kekesalanku. Jantungku serasa ingin meloncat saat suara berat itu terdengar. Aku yakin hanya ada aku di ruangan ini. Seketika itu aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Melihat sang pemilik suara, rasa takutku memuncak. Seekor primata, makhluk seperti kera berdiri di dekat tempat tidurku. Bulu hitamnya tak terlalu lebat, menampilkan kulit sewarna kulit manusia di baliknya. Berdiri agak membungkuk. Rasanya aku tak terlalu asing dengan wujud itu. Bukankah ia makhluk purba yang sering tampil dalam presentasiku saat mengajar? Oh tidak. Aku pasti sedang bermimpi, tapi aku bahkan belum tidur. Tiba-tiba gemetar hebat melanda tubuhku.
“Kau?” Suara tercekat keluar dari mulutku. “Siapa kau?”
“Oh, aku bukan siapa-siapa?” jawab makhluk itu santai. Nada bicaranya agak aneh, seperti terpatah-patah.
“Kenapa kau berada di kamarku?” tanyaku lagi, sama sekali belum merasa lebih baik.
“Hanya ingin berbagi kisah denganmu?” jawab makhluk itu, lagi-lagi dengan gaya santainya.
Aku tak butuh kisah pengantar tidur dari makhluk mengerikan seperti itu. Yang aku butuhkan sekarang adalah ketenangan. Aku butuh istirahat. Aku lelah, dari pikiran juga pekerjaan.
“Aku bisa menjawab pertanyaan yang membuat pikiranmu gundah,” lanjut makhluk itu. “Tentang apa yang kalian sebut dengan evolusi manusia.” Ia melangkah, kemudian duduk di ranjangku. Ngeri, aku bergeser menjauhinya. “Tenang saja aku tak akan melukaimu.”
Tentu saja ia menyadari ketakutanku.
Sejenak kami terdiam. Aku masih ketakutan, dan makhluk itu seperti tengah mencari kata-kata yang tepat untuk mulai berkata-kata.
“Sudah lama aku mengamatimu,” ujarnya memulai. “Terlalu lama malah untuk mengetahui bahwa kau sama sekali tak setuju dengan teori evolusi yang dicetuskan oleh manusia bernama Darwin itu.”
Aku tak membantah. Entah makhluk ini tengah berbohong atau tidak, aku tak peduli. Aku tetap masih menggigil ketakutan menyaksikan wujud makhluk itu.
“Yah, walau ada beberapa bagian yang tak terjawab, tapi aku sarankan kau percaya saja dengan teori itu,” ujarnya melanjutkan. “Karena memang itulah yang terjadi. Kalian, para manusia memang perkembangan lebih lanjut dari kaum kami.”
Sampai titik ini, rasa takut dan bingung berputar-putar, membuatku pusing dan mual seketika. Berbagai pertanyaan dan ungkapan ketidakpercayaan langsung menyeruak di benakku. Tapi dari sekian banyak pertanyaan dan ketidakpercayaan, hanya satu kalimat pendek yang berhasil lolos dari mulutku yang bergetar. “Tidak mungkin.”
“Manusia memang cenderung tak ingin mempercayai apa yang tak tampak dan tak masuk akal bagi mereka,” jawab makhluk itu menyangkal kata-kataku. “Kalian hanya berpikir bahwa evolusi hanya disebabkan oleh seleksi alam, mutasi, perubahan iklim yang tajam, bencana alam yang dahsyat. Tapi kalian tak pernah menyadari adanya penyebab lain. Penyebab yang mungkin tak akan pernah kalian percayai.”
Penasaran mengalahkan rasa takutku. Sekali lagi, sebuah kalimat ringkas keluar dari mulutku. “Apa itu?”
Mahkluk itu tersenyum padaku, menampilkan senyum paling lebar dan paling menakutkan yang pernah kulihat, seakan menyadari munculnya ketertarikan dalam diriku.
“Peranan entitas magis.”
***
Hawa panas tiba-tiba menjalar, menuruni lereng gunung. Getaran bumi sesekali turut menambah kacau keadaan hutan, membuat makhluk-makhluk penghuninya kalang kabut menyelamatkan diri. Mereka berteriak, meraung, bercicit tak berirama. Langkah cepat ke sana-kemari, kadang menubruk pohon. Hanya satu yang mereka percaya saat itu, insting bertahan hidup.
Semua makhluk berlomba menuruni gunung, berusaha menjauh secepat mungkin dari hawa panas yang mengincar kehidupan mereka. Tapi secepat apapun mereka berusaha, selalu ada batas-batas yang tak bisa mereka lawan. Makhluk-makhluk yang lebih lemah, yang tak cukup cepat untuk berlari, adalah korban pertama si hawa panas. Mereka mengerang pilu saat hawa panas membakar bulu mereka, membuat nyawa mereka melayang seketika.
Dari sekian banyak makhluk yang tengah mencoba mempertahankan hidup mereka, ada sekelompok primata yang tampaknya memiliki sedikit kecerdasan lebih dibanding makhluk-makhluk hutan yang lain. Daripada berdesak-desakan, mereka memiliki melompat dari satu pohon ke pohon yang lain, bergelantungan, menghindari saling desak dan saling dorong di bawah mereka. Belum lagi karena tubuh mereka yang tak begitu besar, membuat mereka tak mempunyai cukup kekuatan untuk bertahan dalam persaingan di bawah mereka.
“Aaaagh….” Seekor primata yang berada paling depan, yang tampaknya adalah pemimpin kawanan itu berteriak, menyuruh semua anggota kawanan untuk bergerak lebih cepat.
Menanggapi perintah sang pemimpin, anggota kawanan berusaha bergerak lebih cepat. Banyak di antara mereka bergerak, melompat, menggelantung dengan gesit, tapi ada beberapa yang tampak kepayahan. Sehingga tak bisa dipungkiri harus ada korban dari kawanan itu untuk si hawa panas. Teriakan demi teriakan anggota kawanan menunjukkan berapa banyak jumlah primata yang menjadi korban.
Sampai beberapa waktu kemudian, ketika jarak pelarian makhluk-makhluk hutan semakin jauh, jangkauan hawa panas sudah mulai berkurang dan akhirnya berhenti sepenuhnya. Hiruk-pikuk hutan masih tak terkendali. Beberapa makhluk yang menyadari hal itu, dan yang sudah terlalu lelah untuk terus berlari, memilih untuk berhenti. Mengistirahatkan tubuh mereka yang kelelahan. Beberapa yang lain, yang masih cukup kuat, terus bergerak turun. Mengantisipasi seandainya hawa panas itu tiba-tiba muncul kembali.
Kawanan primata itu termasuk dalam golongan kedua. Mereka memelilih terus bergerak sampai mereka yakin keadaan benar-benar sudah aman. Beberapa waktu berikutnya, ketika mereka tiba di sebuah padang terbuka dengan pohon-pohon besar mengelilinginya, pemimpin kawanan berteriak lagi. Memerintahkan anggota kawanan untuk berhenti dan beristirahat di tempat itu.
Teriakan demi teriakan gembira mulai terdengar, sahut menyahut dari anggota kawanan. Mereka meluapkan kebahagiaan mereka karena berhasil kabur dari bencana, dari sang hawa panas gunung berapi. Tapi begitu teriakan-teriakan anggota kawanan mulai terdengar memekakkan telinga, sang pemimpin tiba-tiba berteriak lantang, menyuruh mereka diam.
Semua anggota kawanan langsung terdiam. Semua mata memandang sang pemimpin. Anak-anak yang berhasil selamat bersembunyi di balik tubuh induknya, atau langsung meloncat ke dekapan orangtuanya, ketakutan. Sang pemimpin berjalan lelah ke tengah-tengah padang, melewati anggota kawanan satu per satu, seakan tengah menghitung berapa jumlah anggota kawanan yang masih tersisa. Sang pemimpin langsung menyadari lebih dari separuh anggota kawanan tak berhasil selamat. Lebih dari itu, sang pemimpin lega karena betinanya masih berada di antara mereka.
Sang pemimpin kembali berteriak, teriakan panjang dan berkali-kali. Beberapa teriakan awal adalah perintah untuk para betina agar membawa anak-anak mereka ke atas pohon, mengistirahatkan diri mereka dan anak-anaknya. Tanpa ada protes, para betina langsung menggendong anak mereka dan segera memanjat dengan lincah ke atas pohon di sekitar mereka. Beberapa teriakan berikutnya adalah perintah untuk para pejantan.
Sang pemimpin memerintahkan setiap pejantan untuk mencari bahan makanan, buah-buahan apapun yang bisa mereka temukan. Setelah sang pemimpin mengumumkan perintah berikutnya, bahwa semua anggota kawanan harus kembali berkumpul di tempat ini sebelum matahari terbenam, segera saja, kawanan pejantan itu terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil, sebelum akhirnya terpencar ke sepenjuru hutan.
Sang pemimpin juga turut pergi. Ia ditemani oleh dua primata kurus yang sangat gesit. Keduanya mampu memanjat dahan-dahan kecil yang tampak rapuh tanpa membuatnya patah. Ini cukup mempermudah pekerjaan. Tapi tak seperti yang mereka harapkan, sejauh mereka memandang tak nampak satu pohon buah pun. Bahkan setelah mereka memanjat pohon tertinggi, mereka belum juga menemukan pohon yang akan menghidupi mereka. Mereka terus bergerak, mencari, hingga akhirnya senja menjelang. Mereka kecewa karena tak ada sebutir buah pun yang berhasil mereka peroleh. Itu artinya mereka akan pulang dengan tangan kosong.
Ketika mereka tiba kembali di padang, beberapa anggota kawanan juga bernasib sama dengan mereka. Hanya ada beberapa kelompok saja yang berhasil mengumpulkan bahan makanan. Sang pemimpin kemudian memerintahkan mereka untuk mengumpulkan bahan makanan itu di tengah padang. Setelah semua terkumpul, hanya terbentuk setumpuk kecil buah-buahan. Itu bahkan tak akan cukup untuk mencukupi kebutuhan kawanan selama dua hari.
Dan perkiraan itu benar adanya.
Sehari sudah berlalu sejak kawanan primata itu kehabisan bahan makanan. Semua pejantan sudah sejak pagi meninggalkan padang untuk mencari bahan makanan. Bahkan beberapa betina juga turut dalam perburuan itu. Mereka memperluas area perburuan, karena area di sekitar mereka sama sekali tak menghasilkan apapun untuk bisa dimakan. Saat senja menjelang, seperti biasa, semua anggota kawanan akan kembali berkumpul di padang, membawa apapun yang bisa mereka bawa pulang.
Sang pemimpin kembali mememerintahkan mereka untuk mengumpulkan bahan makanan yang berhasil mereka kumpulkan. Lagi-lagi hanya setumpuk kecil buah-buahan yang berhasil dikumpulkan, bahkan jauh lebih sedikit dari yang mereka kumpulkan sebelumnya. Kenyataan ini membuat anggota kawanan kebingungan. Suara-suara putus asa mulai terdengar di antara mereka. Sebelum suara-suara itu berubah menjadi teriakan-teriakan tak terkendali, sang pemimpin memerintahkan anggota kawanan untuk membagi bahan makanan itu. Setelah memberikan perintah, sang pemimpin tiba-tiba pergi meninggalkan padang. Berjalan ke utara, lebih dalam ke arah hutan.
Sebagai pemimpin, ia bertanggung jawab terhadap keselamatan anggota kawanannya. Untuk sekarang, hanya ada satu hal yang bisa menyelamatkan anggota kawanannya. Makanan. Mereka butuh makanan. Untuk itulah sang pemimpin pergi. Ia ingin mencari tempat yang bisa memberi mereka makan.
Malam sudah menguasai hutan. Sesekali teriakan burung dan hewan-hewan malam menyela sepinya hutan. Saat ini sang pemimpin sudah pergi entah seberapa jauh. Mengandalkan indera penciumannya, ia terus mencari sumber makanan. Bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain, melompat dari satu dahan ke dahan yang lain, tapi ia masih belum menemukan apa yang ia cari. Ke manapun ia mengarahkan hidungnya, yang tercium hanya bau lembab dedaunan. Tak pernah sekali pun ia menangkap bau manis buah-buahan.
Ia terus melompat, terus bergelantungan, terus berjalan hingga fajar kembali membawa pagi ke hadapan dunia. Melihat cahaya matahari, tiba-tiba ia teringat kembali dengan kawananya di padang. Ia merasa harus segera kembali pada mereka sebelum mereka menyadari pemimpinnya menghilang. Mungkin itu akan menambah kacau keadaan kawanan. Tapi saat ia ingin pergi, tiba-tiba ia melihat apa yang kemudian membangkitkan keinginan baru dalam diri sang pemimpin.
Di bawahnya, di tanah, seekor binatang pengerat gemuk tengah mengendus-endus udara mencari bebauan yang diharapkan bisa membawanya pada makanan paginya. Tapi sang binatang pengerat tak menyadari bahwa di belakangnya tengah mengendap-endap seekor ular yang siap untuk menjadikannya makanan pagi. Sang ular mulai bergerak ke arah mangsanya dengan sangat hati-hati. Dan, kemudian semuanya terjadi dengan cepat. Sebelum sadar akan bahaya yang mengincar dirinya, binatang pengerat itu sudah berada di mulut ular. Gigitan berbisa sang ular membuat mangsanya tak mampu mempertahankan hidupnya terlalu lama.
Peristiwa kecil itu mengusik kecerdasan sederhana sang primata. Sebuah kesadaran kecil muncul di benaknya.
Mungkin jika mereka tak hanya bergantung pada buah-buahan, mereka akan bisa bertahan lebih lama.
***
Sepanjang perjalanan kembali ke padang, sang pemimpin mulai mencoba memburu binatang-binatang yang tampak mudah untuk ditangkap. Tapi ternyata ia salah. Walau tampak lemah, binatang-binatang itu sangat lincah. Beberapa kali binatang pengerat menampakkan diri di depannya, tapi ia selalu gagal menangkap mereka. Hingga akhirnya, dengan usaha yang sangat keras, ia bisa menangkap seekor binatang bertelinga panjang. Binatang itu lebih gemuk daripada binatang-binatang pengerat yang coba ia tangkap sebelumnya.
Berhasil menangkap binatang itu, sang primata memanjat pohon untuk mencoba hasil buruannya. Mengamati binatang buruannya, ia bingung bagaimana memulainya. Setelah terdiam beberapa saat, ia tiba-tiba menggigit binatang itu tanpa peduli bagian mana yang ia gigit. Bulu-bulu halus langsung menggelitik mulut dan lidahnya, membuatnya langsung menarik binatang itu dari mulutnya.
Terdiam sejenak lagi, ia kembali menggigit bintang itu. Kali ini ia mencoba mengabaikan rasa tergelitik itu. Ia terus menekankan giginya yang tumpul ke kulit berbulu binatang itu. Sangat kesulitan, tapi akhirnya sebentuk cairan kental aneh mengaliri mulutnya. Rasanya aneh, tak manis seperti cairan buah. Tersedak cairan kental itu, ia buru-buru meludahkan cairan itu sambil membuang hasil buruannya jauh-jauh.
“Aaaagh….” Ia mengerang frustasi. Gagasannya ternyata tak berguna. Kaumnya sama sekali tak bisa bergantung pada makanan lain. “Aaaagh….”
Ia masih berteriak-teriak frustasi saat tiba-tiba cahaya menyilaukan turun di depan sang primata, membuatnya langsung terdiam, memandang takjub pada sinar menyilaukan itu, yang semakin lama semakin mewujud. Wujud sinar itu aneh. Hampir menyerupai wujud sang primata, tapi dengan proporsi tubuh berbeda. Alih-alih bulu yang menutupi sekujur tubuhnya, wujud itu menutupi tubuhnya dengan benda aneh berkibar-kibar. Tiba-tiba sang primata merasakan ketakutan.
“Aaaagh…?” teriak sang primata menanyakan siapa wujud itu.
“Aku adalah salah satu dari entitas yang mengendalikan dunia ini,” jawab wujud itu dengan bahasa aneh yang tak pernah didengar oleh sang primata, tapi anehnya sang primata mengerti maksud bahasa itu.
“Aaaagh…?” Lagi-lagi sang primata berteriak, kali ini untuk menanyakan maksud kedatangannya.
Wujud itu tersenyum, mulutnya yang tak sampai separuh lebar mulut sang primata menjadi sedikit lebar.
“Aku kemari untuk membantu kaummu,” jawab wujud bercahaya itu. “Dari yang kuamati, kaummu adalah kaum yang paling kreatif dibanding kaum lain. Sayang kalau kalian sampai punah. Untuk itu, aku akan mengabulkan satu permintaan untuk kaummu.”
Sang primata terkejut mendengar jawaban wujud itu.
“Sebutkan satu permintaanmu,” perintah wujud itu. “Aku akan mengabulkan apapun permintaanmu.”
Satu keinginan langsung muncul di benak sang primata. Ia ingin kawanannya tak hanya bergantung pada buah-buahan. Ia ingin kawanannya juga bisa menikmati daging binatang lain. Ia ingin kawanannya bisa bertahan hidup dari keduanya. Dan permintaan itu ia utarakan dalam satu teriakan panjang.
“Permintaanmu terkabul,” jawab wujud itu, kemudian sebuah cahaya meliputi tubuh sang primata.
Sang primata merasakan ada yang aneh dengan cahaya itu. Cahaya itu membuat tubuhnya sakit di beberapa bagian. Di mulutnya, ia merasakan rasa sakit aneh di giginya. Di tangannya, ia merasakan rasa sakit yang membuat kedua tangannya bergetar hebat. Dan, disekujur tubuhnya. Seperti ada yang sengaja mencabuti setiap bulunya satu per satu.
Sang primata terus menjerit, berteriak, mengerang kesakitan saat semua itu terjadi. Ia tak tahu apa yang dilakukan wujud itu padanya. Yang jelas rasa sakitnya luar biasa. Tapi untungnya rasa sakit itu tak berlangsung lama. Saat semuanya selesai, sang primata merasakan ada yang berubah pada dirinya, tapi ia tak tahu apa itu.
“Sekarang kau coba ini,” kata wujud itu menyadarkan sang primata akan keberadaannya.
Tiba-tiba binatang buruannya tadi melayang ke hadapan sang primata. Binatang itu tergolek lemah. Bulu-bulu putihnya ternodai oleh warna merah. Tiba-tiba sebuah aroma menguar dari tubuh biantang malang itu, membuat nafsu makan sang primata memuncak.
Sang primata langsung menangkap binatang itu, menggigitnya, dan merobek kulit binatang itu. Ia melakukan semua itu dengan sangat mudah, semudah ia menggigit buah-buahan. Bahkan cairan kental binatang itu tak lagi mengganggunya. Dalam sekejap, binatang buruan itu sudah kehilangan sebagian besar dagingnya.
“Sebaiknya kau sudahi percobaanmu jika kau ingin sanggup kembali ke kawananmu,” kata wujud itu menghentikan sang primata dari makan besarnya.
Teringat akan kawanannya, sang primata tiba-tiba pergi meninggalkan wujud itu di belakangnya, tanpa sekali pun menoleh pada wujud itu. Sang primata mendengar wujud itu mengatakan sesuatu di belakangnya. Sebuah peringatan. Tapi ia tak peduli lagi dengan yang lain. Yang ia inginkan sekarang adalah segera sampai di padang dan segera mengabarkan perubahan ini pada kawanannya.
Ia melompat dari satu pohon ke pohon yang lain dan bergelantungan seperti biasa, tapi entah kenapa kedua kebiasaan itu menjadi terlalu melelahkan baginya. Tak seperti biasanya, ia justru merasa lebih kuat jika berlari. Sehingga ia terus berlari hingga akhirnya ia sampai di padang tempat kawanannya berada. Tapi betapa terkejutnya dirinya ketika ia mendapati suasana padang yang begitu mengerikan.
Makhluk-makhluk aneh, yang tampak seperti anggota kawanannya walau tak persis,  memenuhi padang itu. Mereka berdiri lebih tegak daripada anggota kawanannya. Bulu mereka lebih jarang, dan tangan mereka lebih pendek. Tapi sang pemimpi menyadari wajah mereka adalah wajah anggota kawanannya, bau mereka juga. Jangan-jangan…
Sang pemimpin menilik dirinya sendiri. Apa yang ia lihat pada anggota kawanannya juga ia temukan pada dirinya. Apakah ini perubahan akibat cahaya entitas magis itu? Mungkin saja, tapi…
Keterkejutan yang lebih buruk kembali melanda sang pemimpin ketika ia sadar apa yang tengah terjadi sebenarnya. Anggota kawanannya tengah saling menyerang satu sama lain. Ia melihat hampir sebagian besar anggota kawanan telah tergeletak tak berdaya di tanah. Hanya tinggal beberapa primata saja yang masih bertahan, tak lebih dari lima primata. Bahkan ada beberapa anggota kawanan lain yang tengah… oh tidak mungkin. Mereka tak mungkin tengah memakan kawannya sendiri.
Sang pemimpin terlalu terkejut untuk menghentikan semua ini. Ia tak menyangka permintaannya justru berakhir seperti ini.
“Aaaagh….” Sebuah teriakan yang sudah dikenalnya membangunkannya dari keterkejutan. Itu suara pasangannya.
Sadar, ia langsung mencari di mana betinanya berada. Ia tengah berada di cengkeraman seekor primata. Tak peduli lagi, ia langsung menerjang primata itu untuk melepaskan betinanya. Tumbukan terjadi begitu keras sehingga ketiga primata itu terguling ke tanah. Setelah melayangkan tinju ke wajah lawanya, sang pemimpin akhirnya berhasil melepaskan betinanya dari cengkeraman primata itu. Tapi ternyata itu tak membuat kemarahannya mereda. Ia terlalu marah karena primata itu berani mengganggu betinanya, sehingga dengan sekali sentakan kuat, giginya telah menancap di leher lawannya. Membuatnya tak mampu bertahan hidup cukup lama.
Tapi, tiba-tiba ia sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia telah membunuh anggota kawanan yang seharusnya ia jaga.
“Aaaagh….” Sang pemimpin berteriak buas, frustasi, membuat anggota kawanan yang masih hidup menoleh padanya. Ketakutan.
Satu teriakan pengusiran membuat semua anggota kawanan yang masih tersisa pergi meninggalkan padang, membawa pasangan mereka masing-masing―bagi yang pasangannya masih hidup. Setiap pasangan pergi ke arah yang berbeda. Tampaknya mereka sadar untuk menghindari satu sama lain.
Kini, hanya tinggal sepasang primata hidup di padang itu. Mereka memandang tumpukan mayat anggota kawanannya.
Dalam hati, sang pemimpin tak akan pernah mampu memaafkan dirinya akan semua ini.
***
“Kemudian aku dan pasanganku terus berjalan ke timur,” kata makhluk itu―yang ternyata hanyalah roh―melanjutkan kisahnya anehnya. “Dalam perjalanan itu, aku dan pasanganku memiliki banyak keturunan. Kekuatan entitas magis itu sepertinya terus memperbaiki keturunanku dari generasi ke generasi. Pada akhirnya menciptakan makhluk sesempurna manusia saat ini.”
Aku masih tak bisa mempercayai kisah itu sepenuhnya. Tapi ada beberapa bagian dari kisahnya yang bisa menjawab keraguanku selama ini akan asal usul manusia. Jika manusia hanya berasal dari sepasang manusia, bagaimana kini timbul berbagai ras yang memiliki karakter yang begitu berbeda?
“Apakah kau tahu bagaimana nasib anggota kawananmu yang lain?” tanyaku tak yakin benar-benar ingin mengetahui jawabannya.
“Aku tak tahu,” jawabnya. “Kami tak pernah bertemu lagi sejak saat itu.”
Ia terdiam, menerawang, seakan tengah kembali menyesali masa itu.
“Tapi aku yakin mereka juga bertahan seperti diriku,” lanjutnya, masih menerawang ke langit-langit kamarku. “Menjadi leluhur salah satu ras manusia di dunia ini.”

~The End~

Note: Naskah ini diikutsertakan dalam CerBul KasFan November 2012

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Panggung Boreas

PANGGUNG BOREAS by Dwipatra “Menculik wanita yang tak mencintaimu, apakah tindakan itu benar?” Patung Logam Boreas dan Oreithyia Orang ini memang tak seperti orang kebanyakan. Saat yang lain memilih melakukan janji temu di sebuah café, berteman secangkir kopi hangat dan alunan musik, dia justru memilih berdiri menunggu di antara deretan logam dari masa lalu dan pahatan-pahatan batu pualam putih, replika patung dewa-dewi Yunani. Dan, saat orang-orang memilih berdiam di depan perapian di tengah musim dingin yang menggigit ini, dia malah berkeras menyuruhku datang ke tempat yang sejak dulu tak terlalu menarik perhatianku, untuk menemuinya. Yah, karena keanehannya, di sinilah aku terdampar sekarang, tersesat di antara koleksi bersejarah sebuah musem paling terkenal di Yunani, National Archaecological Museum, bertanya ke sana-kemari hanya untuk mencari sesosok patung seorang dewi yang namanya dipakai sebagai nama kota ini, Athena, dewi kebijakan.

[Cerpen] Duka Hades

Cerita sebelumnya: Panggung Boreas Duka Hades by Dwipatra Namaku Calista, mungkin kalian sudah sering mendengar namaku dari Bastien. Aku punya sedikit kisah tentang musim semi untuk kalian, namun ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang lara dan duka. Patung Hades dan Persephone Dulu, saat aku kecil, ibu selalu bercerita padaku bahwa musim dingin muncul karena sang dewi kesuburan, Demeter tengah berduka. Persephone, putri tunggalnya diculik oleh Hades sang dewa kematian. Luka hati Demeter yang begitu dalam membekukan segalanya. Langit cerah tiba-tiba disaput awan, air danau yang melenggak-lenggok terayu angin seketika itu membeku, tetumbuhan tak kuasa menunjukkan tunasnya. Kehidupan menjadi beku, dingin, dan sepi.

[Review] Morning, Gloria

Judul                : Morning, Gloria Penulis             : Devi Eka Editor               : Floria Aemilia Desain cover    : Aan Retiree Penerbit            : deTEENs (Diva Press Group) Tebal                : 310 halaman Tahun cetak      : April 2014 Sebenarnya saya sempat ragu untuk nulis review ini, karena mungkin akan banyak kata yang menyinggung nantinya. Tapi, tak apalah. Siapa tahu bisa jadi koreksi untuk penulisnya. Secara keseluruhan, saya kurang suka dengan Morning Gloria (MG). Ada terlalu banyak hal yang kurang sreg bagi saya, jadi dengan terpaksa saya hanya bisa kasih nilai 2/5 untuk MG. Oke, tak perlu berpanjang lebar lagi. Mari kita mulai review MG ala saya ini.