MATA RANTAI YANG
HILANG
by Dwipatra
“Pak, apakah
bapak sendiri percaya dengan Teori Evolusi Darwin?”
Pertanyaan
itulah yang sering diajukan oleh murid-muridku ketika aku mengajarkan Bab
Evolusi pada mata pelajaran yang kuampu, Biologi. Tidak persis seperti itu
memang pertanyaannya, tapi kurang-lebih seperti itu.
Pertanyaan
itu sebenarnya sederhana. Aku tinggal menjawab percaya atau tidak, semudah itu.
Tapi lebih dari yang aku harapkan, aku selalu merasakan perasaan aneh setiap
kali pertanyaan itu terlontar dari murid-muridku.
“Bapak
tidak percaya,” jawabku akhirnya. Lalu aku akan beralasan seperti biasa. Walau bukan
itu alasan utama ketidakpercayaanku. “Jika kalian pelajari lebih lanjut buku
teks kalian, maka kalian akan menemukan istilah Missing Link. Missing Link
adalah mata rantai yang hilang dalam proses evolusi manusia, yang digunakan
untuk menjelaskan loncatan evolusi tak wajar dari makhluk sejenis kera ke
manusia. Ketidakwajaran itulah yang menjadikan teori evolusi Darwin menjadi
sulit untuk dipercaya.”
“Lalu
kenapa sampai sekarang teori itu masih terus diajarkan?” tanya salah seorang
siswa yang memang kukenal lebih kritis daripada siswa-siswi yang lain.
“Karena
sampai sekarang belum ada satu teori pun yang bisa menjelaskan masalah itu
dengan meyakinkan,” jawabku. Aku tak ingin terlihat bodoh di depan anak didikku
sendiri, sehingga kuperpanjang jawabanku agar lebih meyakinkan. “Selama belum
ada teori baru yang bisa menjelaskan asal usul manusia, maka bapak yakin teori
Darwin akan tetap hidup.”
“Bagaimana
dengan asal-usul manusia menurut agama?” tanya siswa yang lain.
Jika
masalah evolusi ini sudah dikaitkan dengan agama, aku selalu merasa malas untuk
menanggapi. Ujung-ujungnya akan terjadi debat panjang yang tak pernah mencapai
satu kesimpulan pun.
“Sebaiknya
kita tidak mencampuradukkan bab pelajaran ini dengan masalah agama,” jawabku
mencoba menghindari debat yang berpotensi muncul. “Tak akan ada titik temu
antara keduanya. Khusus untuk masalah ini, biarlah dua sudut pandang itu
berjalan sendiri-sendiri.”
Dan
pelajaran siang itu berakhir dengan damai, tanpa debat dan tanpa pertanyaan
membingungkan. Setidaknya itulah yang terjadi di kelas. Tapi tidak demikian
dengan diriku. Entah mengapa, segala pertanyaan siang tadi menjadi begitu
mengganggu. Lebih daripada biasanya, bahkan sampai saat aku hendak berangkat
tidur.
“Paling-paling
aku akan melupakannya esok hari setelah aku bangun,” dengusku kesal pada diri
sendiri.
“Tak
akan, sebelum kau tahu jawaban pastinya.”
Tiba-tiba
sebuah suara menjawab kekesalanku. Jantungku serasa ingin meloncat saat suara
berat itu terdengar. Aku yakin hanya ada aku di ruangan ini. Seketika itu aku
langsung menoleh ke arah sumber suara. Melihat sang pemilik suara, rasa takutku
memuncak. Seekor primata, makhluk seperti kera berdiri di dekat tempat tidurku.
Bulu hitamnya tak terlalu lebat, menampilkan kulit sewarna kulit manusia di
baliknya. Berdiri agak membungkuk. Rasanya aku tak terlalu asing dengan wujud
itu. Bukankah ia makhluk purba yang sering tampil dalam presentasiku saat
mengajar? Oh tidak. Aku pasti sedang bermimpi, tapi aku bahkan belum tidur. Tiba-tiba
gemetar hebat melanda tubuhku.
“Kau?”
Suara tercekat keluar dari mulutku. “Siapa kau?”
“Oh,
aku bukan siapa-siapa?” jawab makhluk itu santai. Nada bicaranya agak aneh,
seperti terpatah-patah.
“Kenapa
kau berada di kamarku?” tanyaku lagi, sama sekali belum merasa lebih baik.
“Hanya
ingin berbagi kisah denganmu?” jawab makhluk itu, lagi-lagi dengan gaya santainya.
Aku
tak butuh kisah pengantar tidur dari makhluk mengerikan seperti itu. Yang aku
butuhkan sekarang adalah ketenangan. Aku butuh istirahat. Aku lelah, dari
pikiran juga pekerjaan.
“Aku
bisa menjawab pertanyaan yang membuat pikiranmu gundah,” lanjut makhluk itu. “Tentang
apa yang kalian sebut dengan evolusi manusia.” Ia melangkah, kemudian duduk di
ranjangku. Ngeri, aku bergeser menjauhinya. “Tenang saja aku tak akan
melukaimu.”
Tentu
saja ia menyadari ketakutanku.
Sejenak
kami terdiam. Aku masih ketakutan, dan makhluk itu seperti tengah mencari
kata-kata yang tepat untuk mulai berkata-kata.
“Sudah
lama aku mengamatimu,” ujarnya memulai. “Terlalu lama malah untuk mengetahui
bahwa kau sama sekali tak setuju dengan teori evolusi yang dicetuskan oleh
manusia bernama Darwin itu.”
Aku
tak membantah. Entah makhluk ini tengah berbohong atau tidak, aku tak peduli.
Aku tetap masih menggigil ketakutan menyaksikan wujud makhluk itu.
“Yah,
walau ada beberapa bagian yang tak terjawab, tapi aku sarankan kau percaya saja
dengan teori itu,” ujarnya melanjutkan. “Karena memang itulah yang terjadi.
Kalian, para manusia memang perkembangan lebih lanjut dari kaum kami.”
Sampai
titik ini, rasa takut dan bingung berputar-putar, membuatku pusing dan mual
seketika. Berbagai pertanyaan dan ungkapan ketidakpercayaan langsung menyeruak
di benakku. Tapi dari sekian banyak pertanyaan dan ketidakpercayaan, hanya satu
kalimat pendek yang berhasil lolos dari mulutku yang bergetar. “Tidak mungkin.”
“Manusia
memang cenderung tak ingin mempercayai apa yang tak tampak dan tak masuk akal
bagi mereka,” jawab makhluk itu menyangkal kata-kataku. “Kalian hanya berpikir
bahwa evolusi hanya disebabkan oleh seleksi alam, mutasi, perubahan iklim yang
tajam, bencana alam yang dahsyat. Tapi kalian tak pernah menyadari adanya
penyebab lain. Penyebab yang mungkin tak akan pernah kalian percayai.”
Penasaran
mengalahkan rasa takutku. Sekali lagi, sebuah kalimat ringkas keluar dari
mulutku. “Apa itu?”
Mahkluk
itu tersenyum padaku, menampilkan senyum paling lebar dan paling menakutkan
yang pernah kulihat, seakan menyadari munculnya ketertarikan dalam diriku.
“Peranan
entitas magis.”
***
Hawa panas
tiba-tiba menjalar, menuruni lereng gunung. Getaran bumi sesekali turut menambah
kacau keadaan hutan, membuat makhluk-makhluk penghuninya kalang kabut
menyelamatkan diri. Mereka berteriak, meraung, bercicit tak berirama. Langkah
cepat ke sana-kemari, kadang menubruk pohon. Hanya satu yang mereka percaya
saat itu, insting bertahan hidup.
Semua
makhluk berlomba menuruni gunung, berusaha menjauh secepat mungkin dari hawa
panas yang mengincar kehidupan mereka. Tapi secepat apapun mereka berusaha,
selalu ada batas-batas yang tak bisa mereka lawan. Makhluk-makhluk yang lebih
lemah, yang tak cukup cepat untuk berlari, adalah korban pertama si hawa panas.
Mereka mengerang pilu saat hawa panas membakar bulu mereka, membuat nyawa
mereka melayang seketika.
Dari
sekian banyak makhluk yang tengah mencoba mempertahankan hidup mereka, ada sekelompok
primata yang tampaknya memiliki sedikit kecerdasan lebih dibanding makhluk-makhluk
hutan yang lain. Daripada berdesak-desakan, mereka memiliki melompat dari satu
pohon ke pohon yang lain, bergelantungan, menghindari saling desak dan saling
dorong di bawah mereka. Belum lagi karena tubuh mereka yang tak begitu besar,
membuat mereka tak mempunyai cukup kekuatan untuk bertahan dalam persaingan di
bawah mereka.
“Aaaagh….”
Seekor primata yang berada paling depan, yang tampaknya adalah pemimpin kawanan
itu berteriak, menyuruh semua anggota kawanan untuk bergerak lebih cepat.
Menanggapi
perintah sang pemimpin, anggota kawanan berusaha bergerak lebih cepat. Banyak
di antara mereka bergerak, melompat, menggelantung dengan gesit, tapi ada
beberapa yang tampak kepayahan. Sehingga tak bisa dipungkiri harus ada korban
dari kawanan itu untuk si hawa panas. Teriakan demi teriakan anggota kawanan
menunjukkan berapa banyak jumlah primata yang menjadi korban.
Sampai
beberapa waktu kemudian, ketika jarak pelarian makhluk-makhluk hutan semakin
jauh, jangkauan hawa panas sudah mulai berkurang dan akhirnya berhenti
sepenuhnya. Hiruk-pikuk hutan masih tak terkendali. Beberapa makhluk yang
menyadari hal itu, dan yang sudah terlalu lelah untuk terus berlari, memilih
untuk berhenti. Mengistirahatkan tubuh mereka yang kelelahan. Beberapa yang
lain, yang masih cukup kuat, terus bergerak turun. Mengantisipasi seandainya
hawa panas itu tiba-tiba muncul kembali.
Kawanan
primata itu termasuk dalam golongan kedua. Mereka memelilih terus bergerak sampai
mereka yakin keadaan benar-benar sudah aman. Beberapa waktu berikutnya, ketika
mereka tiba di sebuah padang terbuka dengan pohon-pohon besar mengelilinginya,
pemimpin kawanan berteriak lagi. Memerintahkan anggota kawanan untuk berhenti
dan beristirahat di tempat itu.
Teriakan
demi teriakan gembira mulai terdengar, sahut menyahut dari anggota kawanan.
Mereka meluapkan kebahagiaan mereka karena berhasil kabur dari bencana, dari sang
hawa panas gunung berapi. Tapi begitu teriakan-teriakan anggota kawanan mulai terdengar
memekakkan telinga, sang pemimpin tiba-tiba berteriak lantang, menyuruh mereka
diam.
Semua
anggota kawanan langsung terdiam. Semua mata memandang sang pemimpin. Anak-anak
yang berhasil selamat bersembunyi di balik tubuh induknya, atau langsung
meloncat ke dekapan orangtuanya, ketakutan. Sang pemimpin berjalan lelah ke tengah-tengah
padang, melewati anggota kawanan satu per satu, seakan tengah menghitung berapa
jumlah anggota kawanan yang masih tersisa. Sang pemimpin langsung menyadari
lebih dari separuh anggota kawanan tak berhasil selamat. Lebih dari itu, sang
pemimpin lega karena betinanya masih berada di antara mereka.
Sang
pemimpin kembali berteriak, teriakan panjang dan berkali-kali. Beberapa teriakan
awal adalah perintah untuk para betina agar membawa anak-anak mereka ke atas
pohon, mengistirahatkan diri mereka dan anak-anaknya. Tanpa ada protes, para
betina langsung menggendong anak mereka dan segera memanjat dengan lincah ke
atas pohon di sekitar mereka. Beberapa teriakan berikutnya adalah perintah
untuk para pejantan.
Sang
pemimpin memerintahkan setiap pejantan untuk mencari bahan makanan, buah-buahan
apapun yang bisa mereka temukan. Setelah sang pemimpin mengumumkan perintah
berikutnya, bahwa semua anggota kawanan harus kembali berkumpul di tempat ini
sebelum matahari terbenam, segera saja, kawanan pejantan itu terbagi menjadi
kelompok-kelompok kecil, sebelum akhirnya terpencar ke sepenjuru hutan.
Sang
pemimpin juga turut pergi. Ia ditemani oleh dua primata kurus yang sangat
gesit. Keduanya mampu memanjat dahan-dahan kecil yang tampak rapuh tanpa
membuatnya patah. Ini cukup mempermudah pekerjaan. Tapi tak seperti yang mereka
harapkan, sejauh mereka memandang tak nampak satu pohon buah pun. Bahkan
setelah mereka memanjat pohon tertinggi, mereka belum juga menemukan pohon yang
akan menghidupi mereka. Mereka terus bergerak, mencari, hingga akhirnya senja
menjelang. Mereka kecewa karena tak ada sebutir buah pun yang berhasil mereka
peroleh. Itu artinya mereka akan pulang dengan tangan kosong.
Ketika
mereka tiba kembali di padang, beberapa anggota kawanan juga bernasib sama
dengan mereka. Hanya ada beberapa kelompok saja yang berhasil mengumpulkan
bahan makanan. Sang pemimpin kemudian memerintahkan mereka untuk mengumpulkan
bahan makanan itu di tengah padang. Setelah semua terkumpul, hanya terbentuk
setumpuk kecil buah-buahan. Itu bahkan tak akan cukup untuk mencukupi kebutuhan
kawanan selama dua hari.
Dan
perkiraan itu benar adanya.
Sehari
sudah berlalu sejak kawanan primata itu kehabisan bahan makanan. Semua pejantan
sudah sejak pagi meninggalkan padang untuk mencari bahan makanan. Bahkan
beberapa betina juga turut dalam perburuan itu. Mereka memperluas area
perburuan, karena area di sekitar mereka sama sekali tak menghasilkan apapun
untuk bisa dimakan. Saat senja menjelang, seperti biasa, semua anggota kawanan
akan kembali berkumpul di padang, membawa apapun yang bisa mereka bawa pulang.
Sang
pemimpin kembali mememerintahkan mereka untuk mengumpulkan bahan makanan yang
berhasil mereka kumpulkan. Lagi-lagi hanya setumpuk kecil buah-buahan yang
berhasil dikumpulkan, bahkan jauh lebih sedikit dari yang mereka kumpulkan
sebelumnya. Kenyataan ini membuat anggota kawanan kebingungan. Suara-suara
putus asa mulai terdengar di antara mereka. Sebelum suara-suara itu berubah
menjadi teriakan-teriakan tak terkendali, sang pemimpin memerintahkan anggota
kawanan untuk membagi bahan makanan itu. Setelah memberikan perintah, sang
pemimpin tiba-tiba pergi meninggalkan padang. Berjalan ke utara, lebih dalam ke
arah hutan.
Sebagai
pemimpin, ia bertanggung jawab terhadap keselamatan anggota kawanannya. Untuk
sekarang, hanya ada satu hal yang bisa menyelamatkan anggota kawanannya.
Makanan. Mereka butuh makanan. Untuk itulah sang pemimpin pergi. Ia ingin mencari
tempat yang bisa memberi mereka makan.
Malam
sudah menguasai hutan. Sesekali teriakan burung dan hewan-hewan malam menyela
sepinya hutan. Saat ini sang pemimpin sudah pergi entah seberapa jauh.
Mengandalkan indera penciumannya, ia terus mencari sumber makanan.
Bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain, melompat dari satu dahan ke
dahan yang lain, tapi ia masih belum menemukan apa yang ia cari. Ke manapun ia
mengarahkan hidungnya, yang tercium hanya bau lembab dedaunan. Tak pernah
sekali pun ia menangkap bau manis buah-buahan.
Ia
terus melompat, terus bergelantungan, terus berjalan hingga fajar kembali
membawa pagi ke hadapan dunia. Melihat cahaya matahari, tiba-tiba ia teringat
kembali dengan kawananya di padang. Ia merasa harus segera kembali pada mereka
sebelum mereka menyadari pemimpinnya menghilang. Mungkin itu akan menambah
kacau keadaan kawanan. Tapi saat ia ingin pergi, tiba-tiba ia melihat apa yang
kemudian membangkitkan keinginan baru dalam diri sang pemimpin.
Di
bawahnya, di tanah, seekor binatang pengerat gemuk tengah mengendus-endus udara
mencari bebauan yang diharapkan bisa membawanya pada makanan paginya. Tapi sang
binatang pengerat tak menyadari bahwa di belakangnya tengah mengendap-endap
seekor ular yang siap untuk menjadikannya makanan pagi. Sang ular mulai
bergerak ke arah mangsanya dengan sangat hati-hati. Dan, kemudian semuanya
terjadi dengan cepat. Sebelum sadar akan bahaya yang mengincar dirinya,
binatang pengerat itu sudah berada di mulut ular. Gigitan berbisa sang ular
membuat mangsanya tak mampu mempertahankan hidupnya terlalu lama.
Peristiwa
kecil itu mengusik kecerdasan sederhana sang primata. Sebuah kesadaran kecil
muncul di benaknya.
Mungkin
jika mereka tak hanya bergantung pada buah-buahan, mereka akan bisa bertahan
lebih lama.
***
Sepanjang
perjalanan kembali ke padang, sang pemimpin mulai mencoba memburu binatang-binatang
yang tampak mudah untuk ditangkap. Tapi ternyata ia salah. Walau tampak lemah,
binatang-binatang itu sangat lincah. Beberapa kali binatang pengerat
menampakkan diri di depannya, tapi ia selalu gagal menangkap mereka. Hingga
akhirnya, dengan usaha yang sangat keras, ia bisa menangkap seekor binatang bertelinga
panjang. Binatang itu lebih gemuk daripada binatang-binatang pengerat yang coba
ia tangkap sebelumnya.
Berhasil
menangkap binatang itu, sang primata memanjat pohon untuk mencoba hasil
buruannya. Mengamati binatang buruannya, ia bingung bagaimana memulainya.
Setelah terdiam beberapa saat, ia tiba-tiba menggigit binatang itu tanpa peduli
bagian mana yang ia gigit. Bulu-bulu halus langsung menggelitik mulut dan
lidahnya, membuatnya langsung menarik binatang itu dari mulutnya.
Terdiam
sejenak lagi, ia kembali menggigit bintang itu. Kali ini ia mencoba mengabaikan
rasa tergelitik itu. Ia terus menekankan giginya yang tumpul ke kulit berbulu
binatang itu. Sangat kesulitan, tapi akhirnya sebentuk cairan kental aneh mengaliri
mulutnya. Rasanya aneh, tak manis seperti cairan buah. Tersedak cairan kental
itu, ia buru-buru meludahkan cairan itu sambil membuang hasil buruannya
jauh-jauh.
“Aaaagh….”
Ia mengerang frustasi. Gagasannya ternyata tak berguna. Kaumnya sama sekali tak
bisa bergantung pada makanan lain. “Aaaagh….”
Ia
masih berteriak-teriak frustasi saat tiba-tiba cahaya menyilaukan turun di
depan sang primata, membuatnya langsung terdiam, memandang takjub pada sinar
menyilaukan itu, yang semakin lama semakin mewujud. Wujud sinar itu aneh.
Hampir menyerupai wujud sang primata, tapi dengan proporsi tubuh berbeda.
Alih-alih bulu yang menutupi sekujur tubuhnya, wujud itu menutupi tubuhnya
dengan benda aneh berkibar-kibar. Tiba-tiba sang primata merasakan ketakutan.
“Aaaagh…?”
teriak sang primata menanyakan siapa wujud itu.
“Aku
adalah salah satu dari entitas yang mengendalikan dunia ini,” jawab wujud itu
dengan bahasa aneh yang tak pernah didengar oleh sang primata, tapi anehnya
sang primata mengerti maksud bahasa itu.
“Aaaagh…?”
Lagi-lagi sang primata berteriak, kali ini untuk menanyakan maksud kedatangannya.
Wujud
itu tersenyum, mulutnya yang tak sampai separuh lebar mulut sang primata
menjadi sedikit lebar.
“Aku
kemari untuk membantu kaummu,” jawab wujud bercahaya itu. “Dari yang kuamati,
kaummu adalah kaum yang paling kreatif dibanding kaum lain. Sayang kalau kalian
sampai punah. Untuk itu, aku akan mengabulkan satu permintaan untuk kaummu.”
Sang
primata terkejut mendengar jawaban wujud itu.
“Sebutkan
satu permintaanmu,” perintah wujud itu. “Aku akan mengabulkan apapun
permintaanmu.”
Satu
keinginan langsung muncul di benak sang primata. Ia ingin kawanannya tak hanya
bergantung pada buah-buahan. Ia ingin kawanannya juga bisa menikmati daging
binatang lain. Ia ingin kawanannya bisa bertahan hidup dari keduanya. Dan
permintaan itu ia utarakan dalam satu teriakan panjang.
“Permintaanmu
terkabul,” jawab wujud itu, kemudian sebuah cahaya meliputi tubuh sang primata.
Sang
primata merasakan ada yang aneh dengan cahaya itu. Cahaya itu membuat tubuhnya
sakit di beberapa bagian. Di mulutnya, ia merasakan rasa sakit aneh di giginya.
Di tangannya, ia merasakan rasa sakit yang membuat kedua tangannya bergetar
hebat. Dan, disekujur tubuhnya. Seperti ada yang sengaja mencabuti setiap
bulunya satu per satu.
Sang
primata terus menjerit, berteriak, mengerang kesakitan saat semua itu terjadi.
Ia tak tahu apa yang dilakukan wujud itu padanya. Yang jelas rasa sakitnya luar
biasa. Tapi untungnya rasa sakit itu tak berlangsung lama. Saat semuanya
selesai, sang primata merasakan ada yang berubah pada dirinya, tapi ia tak tahu
apa itu.
“Sekarang
kau coba ini,” kata wujud itu menyadarkan sang primata akan keberadaannya.
Tiba-tiba
binatang buruannya tadi melayang ke hadapan sang primata. Binatang itu tergolek
lemah. Bulu-bulu putihnya ternodai oleh warna merah. Tiba-tiba sebuah aroma
menguar dari tubuh biantang malang itu, membuat nafsu makan sang primata memuncak.
Sang
primata langsung menangkap binatang itu, menggigitnya, dan merobek kulit
binatang itu. Ia melakukan semua itu dengan sangat mudah, semudah ia menggigit
buah-buahan. Bahkan cairan kental binatang itu tak lagi mengganggunya. Dalam
sekejap, binatang buruan itu sudah kehilangan sebagian besar dagingnya.
“Sebaiknya
kau sudahi percobaanmu jika kau ingin sanggup kembali ke kawananmu,” kata wujud
itu menghentikan sang primata dari makan besarnya.
Teringat
akan kawanannya, sang primata tiba-tiba pergi meninggalkan wujud itu di
belakangnya, tanpa sekali pun menoleh pada wujud itu. Sang primata mendengar
wujud itu mengatakan sesuatu di belakangnya. Sebuah peringatan. Tapi ia tak
peduli lagi dengan yang lain. Yang ia inginkan sekarang adalah segera sampai di
padang dan segera mengabarkan perubahan ini pada kawanannya.
Ia
melompat dari satu pohon ke pohon yang lain dan bergelantungan seperti biasa,
tapi entah kenapa kedua kebiasaan itu menjadi terlalu melelahkan baginya. Tak
seperti biasanya, ia justru merasa lebih kuat jika berlari. Sehingga ia terus
berlari hingga akhirnya ia sampai di padang tempat kawanannya berada. Tapi
betapa terkejutnya dirinya ketika ia mendapati suasana padang yang begitu mengerikan.
Makhluk-makhluk
aneh, yang tampak seperti anggota kawanannya walau tak persis, memenuhi padang itu. Mereka berdiri lebih
tegak daripada anggota kawanannya. Bulu mereka lebih jarang, dan tangan mereka
lebih pendek. Tapi sang pemimpi menyadari wajah mereka adalah wajah anggota
kawanannya, bau mereka juga. Jangan-jangan…
Sang
pemimpin menilik dirinya sendiri. Apa yang ia lihat pada anggota kawanannya
juga ia temukan pada dirinya. Apakah ini perubahan akibat cahaya entitas magis
itu? Mungkin saja, tapi…
Keterkejutan
yang lebih buruk kembali melanda sang pemimpin ketika ia sadar apa yang tengah
terjadi sebenarnya. Anggota kawanannya tengah saling menyerang satu sama lain.
Ia melihat hampir sebagian besar anggota kawanan telah tergeletak tak berdaya
di tanah. Hanya tinggal beberapa primata saja yang masih bertahan, tak lebih
dari lima primata. Bahkan ada beberapa anggota kawanan lain yang tengah… oh
tidak mungkin. Mereka tak mungkin tengah memakan kawannya sendiri.
Sang
pemimpin terlalu terkejut untuk menghentikan semua ini. Ia tak menyangka
permintaannya justru berakhir seperti ini.
“Aaaagh….”
Sebuah teriakan yang sudah dikenalnya membangunkannya dari keterkejutan. Itu
suara pasangannya.
Sadar,
ia langsung mencari di mana betinanya berada. Ia tengah berada di cengkeraman seekor
primata. Tak peduli lagi, ia langsung menerjang primata itu untuk melepaskan
betinanya. Tumbukan terjadi begitu keras sehingga ketiga primata itu terguling
ke tanah. Setelah melayangkan tinju ke wajah lawanya, sang pemimpin akhirnya
berhasil melepaskan betinanya dari cengkeraman primata itu. Tapi ternyata itu
tak membuat kemarahannya mereda. Ia terlalu marah karena primata itu berani
mengganggu betinanya, sehingga dengan sekali sentakan kuat, giginya telah
menancap di leher lawannya. Membuatnya tak mampu bertahan hidup cukup lama.
Tapi,
tiba-tiba ia sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia telah membunuh
anggota kawanan yang seharusnya ia jaga.
“Aaaagh….”
Sang pemimpin berteriak buas, frustasi, membuat anggota kawanan yang masih
hidup menoleh padanya. Ketakutan.
Satu
teriakan pengusiran membuat semua anggota kawanan yang masih tersisa pergi
meninggalkan padang, membawa pasangan mereka masing-masing―bagi yang
pasangannya masih hidup. Setiap pasangan pergi ke arah yang berbeda. Tampaknya
mereka sadar untuk menghindari satu sama lain.
Kini,
hanya tinggal sepasang primata hidup di padang itu. Mereka memandang tumpukan
mayat anggota kawanannya.
Dalam
hati, sang pemimpin tak akan pernah mampu memaafkan dirinya akan semua ini.
***
“Kemudian
aku dan pasanganku terus berjalan ke timur,” kata makhluk itu―yang ternyata
hanyalah roh―melanjutkan kisahnya anehnya. “Dalam perjalanan itu, aku dan
pasanganku memiliki banyak keturunan. Kekuatan entitas magis itu sepertinya
terus memperbaiki keturunanku dari generasi ke generasi. Pada akhirnya
menciptakan makhluk sesempurna manusia saat ini.”
Aku
masih tak bisa mempercayai kisah itu sepenuhnya. Tapi ada beberapa bagian dari
kisahnya yang bisa menjawab keraguanku selama ini akan asal usul manusia. Jika
manusia hanya berasal dari sepasang manusia, bagaimana kini timbul berbagai ras
yang memiliki karakter yang begitu berbeda?
“Apakah
kau tahu bagaimana nasib anggota kawananmu yang lain?” tanyaku tak yakin
benar-benar ingin mengetahui jawabannya.
“Aku
tak tahu,” jawabnya. “Kami tak pernah bertemu lagi sejak saat itu.”
Ia
terdiam, menerawang, seakan tengah kembali menyesali masa itu.
“Tapi
aku yakin mereka juga bertahan seperti diriku,” lanjutnya, masih menerawang ke
langit-langit kamarku. “Menjadi leluhur salah satu ras manusia di dunia ini.”
~The End~
Note: Naskah ini diikutsertakan dalam CerBul KasFan November 2012
keren kak...
BalasHapus